Martabat manusia ditentukan oleh akhlaknya. Kematangan sikap dan peribadi bermula dari rumah tangga.
Menanamkan sikap yang jujur dan membentuk perangai umat mesti dimulai
dengan menanam syakhsiah pada keluarga manakala pembinaan rohani
anggota keluarga pula perlu dilaksanakan dengan agama.
Ia sebenarnya perlu dimulai dengan menanamkan rasa ”Khauf” atau takut sebagaimana firman Allah swt :
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa
kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa takut (khauf) dan harap, dan
mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka”. (QS As Sajdah : 16)
Perkataan “khauf” yang bererti takut telah disentuh di dalam Al Qur’an sebanyak 134 kali dan perkataan yang sinonim dengannya iaitu “Khasysyah” yang juga bererti takut terdapat sebanyak 84 kali.
Allah swt menjadikan kehidupan di dunia ini ibarat medan ujian yang mesti ditempuh oleh manusia.
Firman Allah swt tentang perkara tersebut :
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya, dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al Mulk : 2)
Rasa takut (khauf) merupakan sifat kejiwaan dan kecenderungan fitri
yang bersemayam di dalam hati manusia dan memiliki peranan yang penting
dalam kehidupan kejiwaan manusia.
Sayyidina Ali bin Abi Talib ra berkata :
(MAN KHAAFA AAMANA), “Barangsiapa yang takut, aman!”
- Kalau kita tidak takut hujan, kita tidak akan sediakan payung.
- Apabila kita tidak takut sakit, kita tidak akan berusaha untuk meningkatkan kesihatan kita.
- Apabila kita tidak takut negara rosak, maka kita tidak perlu memilih pemimpin yang baik.
Islam tidak memandang rasa takut yang ada dalam diri manusia sebagai aib yang mesti dihilangkan.
Namun demikian, rasa takut akan menjadi sesuatu yang buruk apabila
seseorang tidak mampu mengatur dan menyalurkan rasa takutnya, apalagi
bila rasa takut itu menjadi halangan kepada apa-apa kemajuan, penghambat
kebebasan mengamalkan sunnah dan membiarkan kehormatan dirinya rosak.
Sayyidina Ali bin Abi Talib ra menasihati kita lagi :
“Kalau kamu bertekad melakukan sesuatu, maka harungilah ……
kerana bayangan bencana terlihat lebih besar dari yang sebenarnya.”
kerana bayangan bencana terlihat lebih besar dari yang sebenarnya.”
Jadi, sesungguhnya menunggu datangnya sesuatu, tanpa bersiap sedia
dan berbuat sesuatu sebenarnya lebih buruk dari sesuatu yang ditunggu
itu sendiri.
Oleh kerana itu, lebih baik kita melakukan persiapan dan menyusun kekuatan batin menghadapi sesuatu yang akan datang.
Al Qur’an telah menggambarkan rasa takut yang timbul pada jiwa para
rasul dan juga pada diri hamba-hamba Allah yang soleh, meskipun mereka
adalah manusia pilihan yang terkenal suci dan bersih.
Allah swt berfirman menceritakan peristiwa keluarga Musa as ketika
menghadapi kekejaman Fir’aun yang membunuh setiap anak-anak lelaki yang
lahir kerana takut, jika generasi yang lahir itu, akan mengubah
kekuasaan yang selama turun temurun telah berada di tangan keturunan
Fir’aun itu.
Maka ketika Musa lahir, yang memang dipersiapkan oleh Allah swt untuk
menggantikan kekuasaan Fir’aun, kepada ibu Musa diilhamkan oleh Allah
swt sebagai berikut :
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa : “Susukanlah dia, dan apabila
kamu takut (khuatir), maka hanyutkanlah ia ke dalam sungai (Nil). Dan
janganlah kamu takut dan (jangan pula) bersedih hati kerana sesungguhnya
Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya (salah seorang)
dari para rasul.” (QS Al Qashash : 7)
Rasa takut (khauf) adalah masaalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang.
Seseorang hanya merasa takut jika :
- Yang dibenci tiba.
- Yang dicintai hilang.
Takut merupakan salah satu syarat iman dan kerelaan melaksanakan hukum-hukumnya.
Takut kepada Allah adalah rasa takut yang semestinya dimiliki oleh setiap hamba kerana rasa takut itu mendorong untuk :
- Meningkatkan amal kebaikan.
- Bersegera meninggalkan semua yang dilarangNya.
Rasa takut kepada Yang Maha Kuasa adalah salah satu tiang penyangga keimanan kepadaNya.
Dengan adanya rasa takut, timbul rasa harap (rajaa’) akan keampunan (maghfirah), lahir harapan tentang ‘inayah' (pertolongan) serta rahmat Allah dan ridhaNya.
Sehingga hakikat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” benar-benar termatri dalam kalbu seorang hamba.
Di saat manusia merasakan getaran rasa takutnya kepada Allah, maka
ketika itu bererti mereka memiliki rasa takut pula akan ancaman azab
yang Allah sediakan bagi orang-orang yang durhaka kepadaNya.
Ma’rifah (pengetahuan) akan sifat Allah akan menghantarkan ke dalam pengetahuan tentang azabNya.
Seorang hamba yang soleh, berma’rifatullah dan merealisasikan hakikat
kehambaannya dengan sentiasa mengamalkan perintahNya dan mengamalkan
pula semua ajaran rasulNya, pasti akan memiliki rasa takut yang mendalam
terhadap azab yang mengancamnya.
Sikap ini akan melahirkan kewaspadaan sehingga tidak ada amal atau
perilaku yang mengarah kepada perkara-perkara yang menjadikan Allah
murka dan menjadikan dirinya durhaka kepada Allah swt.
Allah swt berfirman :
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku.” (QS Az Zumar : 13)
Sesungguhnya rasa takut kepada Allah itu merupakan salah satu
perasaan yang diciptakan dalam diri manusia untuk memotivasi mereka
dalam menyebarluaskan dan menjaga nilai-nilai Ilahi.
Orang yang benar dalam memposisikan rasa takutnya akan merasakan rahmat Allah samada dalam kehidupan duniawi mahupun ukhrawi.
Rasa takut ini dapat menjadi kuat dan lemah bergantung kepada keyakinan seseorang pada Allah swt.
Jika manusia itu memahami begitu banyak maksiatnya yang akan
dihadapkan kepada Allah Yang Maha Agung yang tidak memerlukan apa-apa
daripada kita, maka akan timbullah rasa takut.
Maka orang yang paling tinggi rasa takutnya adalah yang paling mengetahui dirinya dan penciptanya.
Firman Allah swt :
“Sesungguhnya hanyalah yang paling takut pada Allah di antara hambanya adalah para ulama’.” (QS Faathir : 28)
Kesan dari rasa takut yang benar adalah jika seseorang sudah benar
kefahamannya, maka mulailah rasa takut masuk dihatinya dan memberi kesan
pada:
- Wajahnya yang kelihatan pucat.
- Perasaannya yang mulai gementar.
- Tangisannya yang mula kedengaran.
Kemudian kesan itu menjadi penggugah untuk ia meninggalkan maksiat
lalu terus membuat komitmen dalam ketaatan dan bersungguh-sungguh dalam
beramal.
KATEGORI RASA TAKUT
Rasa takut ini ada yang :
- Berlebihan.
- Sederhana.
- Kurang.
- Yang berlebihan adalah yang mengakibatkan rasa putus asa dan berpaling dari ketaatan.
- Yang sederhana akan menimbulkan sikap waspada, hati-hati (wara’), takwa, mujahadah, fikir, zikir, kesihatan fizikal dan kebersihan akal.
- Yang kurang akan mengakibatkan tidak meninggalkan maksiat yang dilakukan.
Rasa takut para salafus soleh berbagai-bagai :
- Ada yang takut meninggal sebelum bertaubat.
- Ada yang takut diuji dengan nikmat.
- Ada yang takut hilang sifat istiqamah.
- Ada yang takut su’ul khatimah.
- Ada yang takut dahsyatnya berdiri di hadapan Allah swt.
- Ada yang takut dihijab tidak dapat melihat wajah Allah swt di akhirat nanti.
Inilah tingkatan takut para ‘aarifiin' kerana perasaan takutnya murni kepada kehebatan dan keagungan Allah swt sebagaimana firman-Nya :
“Dan Allah mempertakuti kamu dengan diri-Nya.” (QS Ali Imran : 30)
Di antara mereka ada Abu Darda’ ra yang berkata:
“Tidak seorangpun yang merasa aman dari gangguan syaitan terhadap imannya saat kematiannya.”
Begitu juga dengan Sufyan Ats-Tsauriy ketika saat wafatnya menangis, maka berkata seseorang:
“Ya Aba Abdullah! Apakah kamu mempunyai banyak dosa?”
Maka Sufyan mengambil segenggam tanah dan berkata:
“Demi Allah, dosaku lebih ringan dari ini, tetapi aku takut diganggu imanku sebelum kematianku.”
Ada pula seorang Nabi yang mengadu kelaparan dan kekurangan pakaiannya kepada Allah swt, maka Allah swt mewahyukan padanya:
“Wahai hambaku, apakah engkau tidak ridha bahwa aku telah
melindungi hatimu dari kekafiran selama-lamanya sehingga engkau meminta
dunia kepada-Ku?”
Maka Nabi tadi mengambil segenggam tanah lalu menaburkannya di atas kepalanya (kerana rasa syukurnya) sambil berkata:
“Demi Allah, aku telah ridha ya Allah, maka lindungilah aku dari kekafiran.”
Keutamaan rasa takut disebutkan dalam hadits Nabi saw :
“Berfirman Allah swt : Demi Keagungan dan Kekuasaan-Ku tidak
mungkin berkumpul dua rasa takut dalam diri hambaku dan tidak akan
berkumpul dua rasa aman. Jika ia merasa aman padaKu di dunia maka akan
aku buat ia takut di hari kiamat, dan jika ia takut padaKu di dunia maka
ia akan aman di akhirat.” (HR Ibnu Hibban)
BEBERAPA CONTOH SIFAT RASA TAKUT
PERTAMA : Takutnya para Malaikat :
“Mereka merasa takut kepada Rabb-nya, dan mereka melakukan apa-apa yang diperintahkan Allah.” (QS An-Nahl : 50)
KEDUA : Takutnya Nabi saw :
“Bahwa Nabi saw jika melihat mendung ataupun angin maka
segera berubah menjadi pucat wajahnya. Berkata A’isyah ra: “Ya
Rasulullah, orang-orang jika melihat mendung dan angin bergembira kerana
akan datangnya hujan, maka mengapa anda cemas?” Jawab beliau saw:
“Wahai A’isyah, aku tidak dapat lagi merasa aman dari azab, bukankah
kaum sebelum kita ada yang diazab dengan angin dan awan mendung, dan
ketika mereka melihatnya mereka berkata: Inilah hujan yang akan
menyuburkan kita.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi saw, jika sedang solat,
terdengar di dadanya suara desingan seperti air mendidih dalam tungku,
kerana tangisannya.
KETIGA : Takutnya para sahabat radiallahuanhum :
- Abu Bakar ra sering berkata: “Seandainya saya hanyalah buah pohon yang dimakan.”
- Umar ra sering berkata: “Seandainya aku tidak pernah diciptakan, seandainya ibuku tidak melahirkanku.”
- Abu ‘Ubaidah bin Jarrah ra berkata: “Seandainya aku seekor kambing yang disembelih keluargaku lalu mereka memakan habis dagingku.”
- Berkata Imraan bin Hushain ra: “Seandainya aku menjadi debu yang ditiup angin kencang.”
KEEMPAT : Takutnya para tabi’iin :
- Ali bin Hussein jika berwudhu untuk solat, menjadi pucat wajahnya, maka ditanyakan orang mengapa demikian? Jawabnya: “Tahukah kamu kepada siapa saya akan mengadap?”
- Berkata Ibrahim bin ‘Isa as Syukriy: “Datang padaku seorang lelaki dari Bahrain ke dalam masjid ketika orang-orang sudah pergi, lalu kami bercerita tentang akhirat dan zikrul maut, tiba-tiba orang itu sedemikian takutnya sampai menghembuskan nafas terakhir saat itu juga.”
- Berkata Misma’: “Saya menyaksikan sendiri peringatan yang diberikan oleh Abdul Wahid bin Zaid di suatu majlis, maka wafat 40 orang ketika itu juga di majlis itu setelah mendengar ceramahnya.”
- Berkata Yazid bin Mursyid: “Demi Allah seandainya Rabb-ku menyatakan akan memenjarakanku dalam sebuah ruangan selama-lamanya maka sudah pasti aku akan menangis selamanya, maka bagaimanakah jika ia mengancamku akan memenjarakanku di dalam api?!”
Demikianlah rasa takut para malaikat, nabi-nabi, para sahabat, tabi’iin, ulama’ dan auliya’.
Maka kita sebenarnya lebih patut untuk merasa takut dibandingkan dengan mereka.
Mereka takut bukan kerana dosa melainkan kerana kesucian hati dan
kesempurnaan ma’rifah, sementara kita telah dikalahkan oleh kekerasan
hati dan kebodohan.
Hati yang bersih akan bergetar hanya kerana sentuhan yang kecil,
sementara hati yang kotor tidak berguna baginya nasihat dan ancaman.
Ya Allah, masukkanlah rasa takut ke dalam relung hati kami yang
paling dalam terhadap kehebatan dan kekuasaanMu yang mutlak dan
hapuskanlah rasa takut kami kepada sesama makhluk. Berilah kesedaran
kepada kami melalui rasa takut akan azabMu hingga menjadikan kami
sentiasa berhati-hati untuk tidak melanggar larangan-laranganMu dan
sebagai motivasi untuk kami mempertingkatkan lagi ibadah kami kepadaMu.
No comments:
Post a Comment